Senin, Desember 14, 2009

Negeri 5 Menara dan Kekuatan Mantera Sakti “man jadda wa jada”

Sebagai seorang yang sedang belajar mencintai buku, saya sangat terkesan dengan salah satu novel yang pernah saya baca, Negeri 5 Menara, buku pertama dari sebuah trilogi karya A. Fuadi. Mungkin sebagian besar dari kita belum familiar dengan nama penulis yang satu ini, sebagaimana tidak familiarnya Andrea Hirata sebelum menulis dan meledaknya novel Laskar Pelangi. Saya sendiri pertama kali berkenalan dengan novel Negeri 5 Menara ini berawal dari “kecelakaan kecil” istri saya di toko buku. Saat istri saya jalan-jalan di toko buku, ia melihat sebuah novel baru, yang ia sangka buku barunya Andy F. Noya, karena di sampul depan novel ini ada nama Andy F. Noya, maka ia langsung membeli novel tersebut. Sesampainya di rumah, ia baru sadar, ternyata Andy F. Noya hanya memberikan komentarnya tentang novel ini, yang kutipannya dicetak di sampul depan. Namun hal itu tidak menyurutkan ia untuk membaca Negeri 5 Menara, apalagi setelah melihat kutipan komentar di sampul belakang dari beberapa tokoh mulai B.J. Habibie, Syafii Maarif, hingga Farhan si penyiar dan pembawa acara kondang itu, yang menunjukkan bahwa ini sebuah novel yang bagus. Benar saja, setelah membacanya, istri saya sangat terkesan dan mempromosikannya pada saya.

Negeri 5 Menara adalah novel yang terinspirasi dari kisah nyata si penulisnya. Novel ini bercerita tentang Alif (nama tokoh utama di novel ini), seorang anak minang dari sekitaran Danau Maninjau, yang merantau ke jawa timur untuk belajar di sebuah pesantren modern. Membaca novel ini, saya merasa seperti sedang membaca versi lain dari Laskar Pelanginya Andrea Hirata, walaupun dengan gaya bahasa dan cerita yang berbeda. Karena kedua novel ini sama-sama terinspirasi dari kisah nyata, pengalaman dan mimpi-mimpi masa kecil penulisnya. Dan sebagai penyuka novel Harry Potter, saat membaca Negeri 5 Menara, saya pun seolah teringatkan akan cerita dan tokoh di novel Harry Potter. Saat A. Fuadi menggambarkan sosok Kiai Rais yang bijak, kepala sekolah Pondok Madani (pesantren modern tempat Alif belajar), saya teringat sosok Dumbledore, kepala sekolah sihir Hogwart. Saat bercerita tentang kehidupan Alif dan teman-temannya di pesantren serta bagaimana serunya kompetisi tahunan sepak bola di Pondok Madani, maka imajinasi saya pun terbang ke Hogwart dimana Harry Potter dan teman-temannya sekolah serta bermain di kompetisi Quidict yang seru. Mungkin persamaan Negeri 5 Menara dan Harry Potter ini hanya imajinasi saya saja, tapi yang pasti jika Harry Potter hanyalah novel fiksi biasa dan bahkan sangat imajinatif, sedangkan Negeri 5 Menara ceritanya sangat nyata dan dekat dengan keseharian kita.

Negeri 5 Menara mengajarkan banyak hal bagi para pembacanya. Karena dengan membaca novel ini, kita diingatkan kembali akan nilai-nilai islam yang luar biasa (walau demikian ini bukan novel eksklusif, sehingga bisa dinikmati oleh pemeluk agama apapun), dan selain itu kita pun dikenalkan pada tokoh-tokoh muslim seperti Tharik bin Ziyad, Ibnu Batutah, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Dalam novel ini banyak sekali kata-kata hikmah yang membuat kita termenung kemudian tersadar karena mendapat suatu pencerahan. Negeri 5 Menara juga memotivasi kita untuk tidak takut bermimpi dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengejar mimpi itu. Makanya “man jadda wa jada”, sebuah ungkapan dalam bahasa arab yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil, menjadi semacam “mantera sakti” untuk mengejar mimpi-mimpi itu.

Karena Negeri 5 Menara ini bercerita tentang kehidupan di sebuah pesantren modern (terispirasi sendiri oleh pengalaman penulisnya saat belajar di Pondok Modern Gontor), maka kita jadi memiliki gambaran tentang sistem pendidikan di pesantren modern, sehingga akan meruntuhkan stereotip tentang sistem pendidikan di pesantren yang melulu hanya mengajarkan ilmu agama saja. Novel ini juga seolah-olah ingin menunjukkan bahwa anak pesantren itu tidak hanya luas wawasan dalam hal ilmu agama saja tapi dalam ilmu umum pun bisa jago. Hal ini dibuktikan sendiri oleh A. Fuadi di kehidupan nyatanya, walaupun ia belajar di Gontor namun ia bisa meraih gelar sarjana di UNPAD dan Master di George Washington University dan Royal Holloway University of London. Bahkan wawasannya juga tak perlu diragukan lagi karena ia pernah menjadi wartawan TEMPO dan VOA, bahkan kini ia menjadi direktur di sebuah NGO, The Nature Conservancy.

Gaya bahasa dalam novel ini juga sangat ringan sehingga mudah sekali untuk dicerna. Dan menariknya ada banyak kosa kata dalam bahasa arab yang digunakan, yang terjemahannya bisa dilihat di catatan kaki, sehingga sedikit-sedikit kita bisa belajar bahasa arab, bahkan mungkin memacu kita untuk belajar bahasa arab lebih dalam lagi. Istri saya pun setelah membaca novel ini jadi ingin belajar bahasa arab, bahkan pernah dalam salah satu sms nya pada saya, menyisipkan bahasa arab yang ia “contek” dari novel ini. Bagi saya sendiri, beberapa kosa kata dalam bahasa arab di novel ini membuka memori saya saat sekolah agama di madrasah kampung saya waktu kecil dulu. Selain itu, saat membaca novel ini, yang banyak kosa kata bahasa arabnya, saya seolah merasa sedang mendengarkan percakapan teman-teman saya yang anak rohis.

Kehadiran Negeri 5 Menara semakin menyemarakkan khasanah novel di tanah air, apalagi novel ini ditulis oleh penulis Indonesia dan isinya sangat berbobot. Sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada A. Fuadi atas penulisan novel ini, seperti halnya apresiasi yang diberikan oleh beberapa tokoh nasional yang komentarnya ditulis secara lengkap di beberapa halaman akhir novel ini. Akankah trilogi Negeri 5 Menara ini akan sefenomenal tetralogi Laskar Pelangi ? entahlah, yang pasti saat saya lihat di toko buku, akhir november lalu, di sampul depan novel ini sudah ada stempel “Best Seller”, padahal cetakan pertamanya di bulan juli yang lalu. Jadi bagi yang belum membacanya, saya sangat merekomendasikan novel ini untuk dibaca.

Tunggu apa lagi, segera kunjungi toko buku kesayangan anda :)

Tidak ada komentar: