Senin, Desember 14, 2009

Negeri 5 Menara dan Kekuatan Mantera Sakti “man jadda wa jada”

Sebagai seorang yang sedang belajar mencintai buku, saya sangat terkesan dengan salah satu novel yang pernah saya baca, Negeri 5 Menara, buku pertama dari sebuah trilogi karya A. Fuadi. Mungkin sebagian besar dari kita belum familiar dengan nama penulis yang satu ini, sebagaimana tidak familiarnya Andrea Hirata sebelum menulis dan meledaknya novel Laskar Pelangi. Saya sendiri pertama kali berkenalan dengan novel Negeri 5 Menara ini berawal dari “kecelakaan kecil” istri saya di toko buku. Saat istri saya jalan-jalan di toko buku, ia melihat sebuah novel baru, yang ia sangka buku barunya Andy F. Noya, karena di sampul depan novel ini ada nama Andy F. Noya, maka ia langsung membeli novel tersebut. Sesampainya di rumah, ia baru sadar, ternyata Andy F. Noya hanya memberikan komentarnya tentang novel ini, yang kutipannya dicetak di sampul depan. Namun hal itu tidak menyurutkan ia untuk membaca Negeri 5 Menara, apalagi setelah melihat kutipan komentar di sampul belakang dari beberapa tokoh mulai B.J. Habibie, Syafii Maarif, hingga Farhan si penyiar dan pembawa acara kondang itu, yang menunjukkan bahwa ini sebuah novel yang bagus. Benar saja, setelah membacanya, istri saya sangat terkesan dan mempromosikannya pada saya.

Negeri 5 Menara adalah novel yang terinspirasi dari kisah nyata si penulisnya. Novel ini bercerita tentang Alif (nama tokoh utama di novel ini), seorang anak minang dari sekitaran Danau Maninjau, yang merantau ke jawa timur untuk belajar di sebuah pesantren modern. Membaca novel ini, saya merasa seperti sedang membaca versi lain dari Laskar Pelanginya Andrea Hirata, walaupun dengan gaya bahasa dan cerita yang berbeda. Karena kedua novel ini sama-sama terinspirasi dari kisah nyata, pengalaman dan mimpi-mimpi masa kecil penulisnya. Dan sebagai penyuka novel Harry Potter, saat membaca Negeri 5 Menara, saya pun seolah teringatkan akan cerita dan tokoh di novel Harry Potter. Saat A. Fuadi menggambarkan sosok Kiai Rais yang bijak, kepala sekolah Pondok Madani (pesantren modern tempat Alif belajar), saya teringat sosok Dumbledore, kepala sekolah sihir Hogwart. Saat bercerita tentang kehidupan Alif dan teman-temannya di pesantren serta bagaimana serunya kompetisi tahunan sepak bola di Pondok Madani, maka imajinasi saya pun terbang ke Hogwart dimana Harry Potter dan teman-temannya sekolah serta bermain di kompetisi Quidict yang seru. Mungkin persamaan Negeri 5 Menara dan Harry Potter ini hanya imajinasi saya saja, tapi yang pasti jika Harry Potter hanyalah novel fiksi biasa dan bahkan sangat imajinatif, sedangkan Negeri 5 Menara ceritanya sangat nyata dan dekat dengan keseharian kita.

Negeri 5 Menara mengajarkan banyak hal bagi para pembacanya. Karena dengan membaca novel ini, kita diingatkan kembali akan nilai-nilai islam yang luar biasa (walau demikian ini bukan novel eksklusif, sehingga bisa dinikmati oleh pemeluk agama apapun), dan selain itu kita pun dikenalkan pada tokoh-tokoh muslim seperti Tharik bin Ziyad, Ibnu Batutah, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Dalam novel ini banyak sekali kata-kata hikmah yang membuat kita termenung kemudian tersadar karena mendapat suatu pencerahan. Negeri 5 Menara juga memotivasi kita untuk tidak takut bermimpi dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengejar mimpi itu. Makanya “man jadda wa jada”, sebuah ungkapan dalam bahasa arab yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil, menjadi semacam “mantera sakti” untuk mengejar mimpi-mimpi itu.

Karena Negeri 5 Menara ini bercerita tentang kehidupan di sebuah pesantren modern (terispirasi sendiri oleh pengalaman penulisnya saat belajar di Pondok Modern Gontor), maka kita jadi memiliki gambaran tentang sistem pendidikan di pesantren modern, sehingga akan meruntuhkan stereotip tentang sistem pendidikan di pesantren yang melulu hanya mengajarkan ilmu agama saja. Novel ini juga seolah-olah ingin menunjukkan bahwa anak pesantren itu tidak hanya luas wawasan dalam hal ilmu agama saja tapi dalam ilmu umum pun bisa jago. Hal ini dibuktikan sendiri oleh A. Fuadi di kehidupan nyatanya, walaupun ia belajar di Gontor namun ia bisa meraih gelar sarjana di UNPAD dan Master di George Washington University dan Royal Holloway University of London. Bahkan wawasannya juga tak perlu diragukan lagi karena ia pernah menjadi wartawan TEMPO dan VOA, bahkan kini ia menjadi direktur di sebuah NGO, The Nature Conservancy.

Gaya bahasa dalam novel ini juga sangat ringan sehingga mudah sekali untuk dicerna. Dan menariknya ada banyak kosa kata dalam bahasa arab yang digunakan, yang terjemahannya bisa dilihat di catatan kaki, sehingga sedikit-sedikit kita bisa belajar bahasa arab, bahkan mungkin memacu kita untuk belajar bahasa arab lebih dalam lagi. Istri saya pun setelah membaca novel ini jadi ingin belajar bahasa arab, bahkan pernah dalam salah satu sms nya pada saya, menyisipkan bahasa arab yang ia “contek” dari novel ini. Bagi saya sendiri, beberapa kosa kata dalam bahasa arab di novel ini membuka memori saya saat sekolah agama di madrasah kampung saya waktu kecil dulu. Selain itu, saat membaca novel ini, yang banyak kosa kata bahasa arabnya, saya seolah merasa sedang mendengarkan percakapan teman-teman saya yang anak rohis.

Kehadiran Negeri 5 Menara semakin menyemarakkan khasanah novel di tanah air, apalagi novel ini ditulis oleh penulis Indonesia dan isinya sangat berbobot. Sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada A. Fuadi atas penulisan novel ini, seperti halnya apresiasi yang diberikan oleh beberapa tokoh nasional yang komentarnya ditulis secara lengkap di beberapa halaman akhir novel ini. Akankah trilogi Negeri 5 Menara ini akan sefenomenal tetralogi Laskar Pelangi ? entahlah, yang pasti saat saya lihat di toko buku, akhir november lalu, di sampul depan novel ini sudah ada stempel “Best Seller”, padahal cetakan pertamanya di bulan juli yang lalu. Jadi bagi yang belum membacanya, saya sangat merekomendasikan novel ini untuk dibaca.

Tunggu apa lagi, segera kunjungi toko buku kesayangan anda :)

Sabtu, Desember 12, 2009

Antologi Puisi Pendek #1

saat membuka-buka lagi puisi-puisi saya yang berserakan di laptop, ternyata ada banyak puisi pendek yang sudah saya tulis. beberapa puisi pendek tersebut pernah mengudara di Evela Rasesonia FM Palangkaraya dalam acara Tebaran Sastra. sebetulnya hampir semua puisi saya sudah saya upload di blog saya yang lain (http://boekie.blog.friendster.com/), tapi saya tergelitik juga untuk meng-upload-nya lagi di blog ini (dengan dikumpulkan dalam suatu Antologi, yang akan dibuat beberapa seri).



KRL Bogor - Jakarta

Baru saja melewati stasiun UI :
sekilas kulihat kenangan melambaikan tangan

maaf, aku tak sempat singgah


Pakuan Express, 20 Oktober 2007



Depok (1)

berjalan di sepanjang trotoar kampus
adalah perjalanan menuju hulu kenangan

dimana aku dipertemukan dengan berbagai arwah kenangan
yang bergentayangan di ruang kepalaku


Depok, 23 Nopember 2008



Suatu Malam, Di Sudut Cafe

Ada sepi menyergap diantara denting piano
Ada nyeri menusuk diantara petikan gitar
Ada kenangan menjelma diantara syair lagu
Ada asa musnah di sudut cafe ini


Jakarta, 8 Februari 2007



The Peak Cafe

gigil senja bandung utara
merona di paras pelangi
berdenting di gelas lemon tea
lalu mengendap di dasar hati


The Peak Cafe - Bandung, 30 Desember 2007



...

jiwa gemetar
raga menggigil
saat bilur gerimis
leleh di bola mata


Mesjid Daarut Tauhiid - Bandung, 29 Desember 2007



Gelisah Jiwa

gelisah jiwa yang mencekam
akankah terhapus oleh zikir yang terbata ?


Mesjid Daarut Tauhiid - Bandung, 29 Desember 2007



Bulan dibalik Jendela

Bulan, kenapa hanya mengintip dibalik jendela
Lekaslah masuk ke rongga dadaku
Temani aku dengan sinar perakmu
Agar sepi segera pergi


Palangkaraya, 30 September 2007



Tetes Waktu

perlahan mengikis usia kita
pasti

hingga habis tak bersisa


Palangkaraya, 7 Desember 2007



Pulang Kampung

Satu persatu kenangan
berhamburan menyambutku


Karawang, 20 Januari 2007



Kado Ulang Tahun
- buat mama -

Detak waktu
tak mampu mereduksi
cantik hatimu

Selamat ulang tahun bunda


Karawang, 17 Oktober 2007



SMS of The Day

: sekedar menyapa kabar

dua puluh tiga kali pesan singkatmu bersarang
di inbox ku

(apa masih boleh dibilang pesan singkat ?)


Palangkaraya, 6 Desember 2007



11:20 PM

Laptop diatas meja :
berkedip menggoda

Aku diremang kamar :
diam terpaku

Puisi :
”ayo.. toreh aku dengan mata kata !!!“


Palangkaraya, 8 Oktober 2007

Senin, Juli 07, 2008

Memahami Makna "Insya Allah"

Ada suatu pengalaman yang menggelitik hati saya, ketika beberapa waktu yang lalu, saya dan sepupu-sepupu saya "jalan-jalan" ke gunung papandayan di garut. Sebelum naik gunung, kami diingatkan oleh penjaga gunung (kuncen) disana untuk tidak “nyarios sompral” (berkata sombong atau ngomong sembarangan), yang kemudian dijawab oleh salah seorang sepupu saya dengan mengucapkan kata “Insya Allah”. Nah, yang menggelitik hati saya adalah respon dari si kuncen tersebut yang mengatakan ; "entong Insya Allah, kedah ieu mah" (jangan bilang Insya Allah, tapi harus ini mah).

Sebetulnya apa makna dari kata “Insya Allah” sehingga membuat si kuncen papandayan merasa tidak percaya dengan komitmen kami ?. Memang harus kita akui bahwa kata “Insya Allah” sudah menjadi kata-kata harian kita, sehingga sudah sangat sering kita mendengar bahkan hampir secara otomatis kata tersebut mengalir begitu saja dari mulut kita tanpa memahami maknanya. Selama ini timbul kesan bahwa ketika mendengar seseorang mengucapkan kata “Insya Allah”, maka kita langsung apriori bahwa orang tersebut tidak mempunyai komitmen yang kuat bahkan mungkin terkesan hanya memberikan “janji-janji manis” tanpa ada tekad yang sungguh-sungguh untuk menepatinya. Disisi lain, bagi si pengucapnya, kata “Insya Allah” terkesan sebagai bentuk janji yang sangat longgar, sehingga dia merasa tidak mempunyai konsekuensi apa-apa ketika mengucapkannya. Mungkin kita juga sering “menjanjikan” sesuatu kepada orang lain, misalnya untuk datang kerumahnya, dengan mengucapkan kata “Insya Allah”, padahal sebetulnya kita tahu bahwa kita enggan untuk datang, atau bahkan tidak ada rencana sama sekali. Kita mengucapkan kata “Insya Allah” hanya untuk menyenangkan lawan bicara kita saja. Lantas, apakah demikian makna “Insya Allah” ?.

Mengucapkan kata “Insya Allah” sebelum kita menjanjikan atau melakukan sesuatu sebetulnya perintah Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an, surat Al Kahfi (18) ayat 23-24, yang artinya : Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu esok pagi’. Kecuali (dengan menyebut) ’Insya Allah’. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini’'. Jadi dalam Islam, kita tidak boleh menjanjikan atau memastikan sesuatu akan terjadi sesuai dengan kehendak kita. Jika itu terjadi, maka hal tersebut mencerminkan kesombongan bahwa kita pasti bisa melakukannya sesuai dengan apa yang kita kehendaki, serta tidak ada kekuatan diluar diri kita yang dapat mempengaruhinya. Sebetulnya ada sebuah ungkapan dalam bahasa inggris yang berbunyi “Man proposes, God disposes” (Manusia merencanakan, Tuhan menentukan). Dalam ungkapan tersebut jelas sekali terkandung makna bahwa hanya Tuhan saja yang berhak untuk memastikan sesuatu.

Kalau kita cermati, ayat diatas adalah perintah untuk mengucapkan kata “Insya Allah” sebelum kita menjanjikan atau melakukan sesuatu, tetapi sebelumnya kita sudah berkomitmen dengan kuat bahwa kita akan sekuat tenaga menepati janji kita itu, adapun bagaimana nanti hasilnya terserah Allah. Hal ini tercermin dari arti kata “Insya Allah” itu sendiri yang kurang lebih “jika Allah mengizinkan atau menghendaki”. Jika Allah tidak menghendaki, kita bisa apa ?, walaupun perencanaan kita sudah sangat matang. Andai bergabung seluruh jin dan manusia untuk melakukan sesuatu, jika Allah tidak mengizinkan maka tidak akan pernah terjadi. Dalam mengucapkan kata “Insya Allah” juga bukan berarti bahwa kita menjadi bersikap fatalis (diam, tidak melakukan apa-apa), karena kita sudah merasa telah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Dalam tataran filosofis dan kesadaran diri, “iya” kita memang harus berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tetapi dalam tataran praktis kita harus berikhtiar sekuat tenaga kita. Bukankan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum tersebut tidak mengubahnya sendiri (QS. 13: 11), karena memang di dunia ini berlaku yang namanya sunatullah. Jadi sebetulnya tidak ada hubungannya antara mengucapkan kata “Insya Allah” dengan komitmen kita yang longgar apalagi sampai bersikap fatalis.

Ketika mengucapkan kata “Insya Allah” seharusnya timbul kesadaran pada diri kita bahwa kita ini lemah dan tidak bisa memastikan sesuatu dengan pasti, oleh karena itu kita bergantung sepenuhnya (bertawakal) kepada Allah, tentu setelah kita berusaha sekuat tenaga kita, dan memohon bantuan Allah. Bahkan menurut Cak Nur, dalam buku “Pintu – Pintu Menuju Tuhan”, disebutkan bahwa dalam ucapan “Insya Allah” tersimpul kesadaran kosmis, yaitu kesadaran bahwa kita hidup tidak sendirian, melainkan hidup dalam jalinan dan hubungan saling mengkait dengan seluruh ciptaan Allah yang lain, sesuai dengan sunnah, taqdir dan iradah Allah. Inilah salah satu sikap orang yang rendah hati, karena ia mampu menyadari kelemahannya. Semoga mulai saat ini kita tidak salah lagi dalam memahami makna “Insya Allah”, apalagi dengan sengaja mempermainkannya. Wallahu a’lam bishawab.

Kamis, Maret 13, 2008

The Story Behind My Poetry

Beberapa waktu yang lalu (saya lupa tanggalnya, yang pasti di bulan februari), sebuah puisi saya dimuat di harian Palangkaraya Post edisi minggu, dalam Rubrik Sastra. Inilah, untuk yang pertama kalinya, puisi saya berhasil nampang di media cetak. Setelah sebelumnya, salah satu puisi saya pun sempat "go public" di sebuah radio swasta di palangkaraya, dalam acara Tebaran Sastra di Evela Rasisonia FM.

Saya mulai menulis puisi (entahlah, apakah tulisan saya itu layak disebut puisi atau tidak) sekitar tahun 2003, yang awalnya hanya ingin curhat dari apa yang sedang saya rasakan atau alami pada saat itu. Lama-kelamaan, saya jadi terbiasa untuk menuliskan (kalo lagi tidak males mikir dan nulisnya) setiap kejadian yang saya alami, perasaan yang saya rasakan atau kejadian-kejadian menarik yang saya lihat. Singkatnya, puisi-puisi saya itu menjadi semacam "catatan harian" atau "diary" saya. Ketika dapat ide untuk menulis, biasanya saya langsung menuliskannya di buku atau kertas, kemudian setelah itu saya ketik ulang (kadang sambil direvisi) di komputer saya. Awalnya, puisi-puisi tersebut saya simpan saja di hard disc, tanpa pernah mempublikasikannya dimanapun. Soalnya, sebagai "penyair" amatir, saya tidak punya nyali dan malu untuk mempublikasikan puisi-puisi tersebut. Kemudian, setelah saya berkenalan dengan friendster (hasil dari paksaan temen-temen.. he.. he..), iseng-iseng saya bikin blog (silakan kunjungi saya si Sastrawan Sableng di : http://boekie.blogs.friendster.com/), yang akhirnya nampanglah puisi-puisi saya tersebut di dunia maya.

Mulailah puisi-puisi saya itu dikenal, setidaknya oleh temen-temen saya dan mungkin beberapa orang yang pernah berkunjung ke blog saya, sehingga dikenalah saya sebagai si Sastrawan Sableng, he.. he... Ternyata puisi-puisi saya tersebut dibaca juga oleh orang-orang yang pernah berkunjung di blog saya, buktinya mereka sempet-sempetnya ngasih komen. Terus terang saja saya senang sekali, karena bagi saya, komen-komen tersebut merupakan apresiasi atas karya saya, terlepas dari apapun isinya. Dari obrolan dengan temen-temen, ada beberapa diantara mereka yang menyarankan (entah saran beneran atau cuma buat nyeneng-nyenegin saya aja) untuk mengirimkan karya-karya saya itu ke media massa, bahkan ada yang lebih sableng lagi dengan menyarankan untuk menerbitkan dalam bentuk buku (gila kali.. penerbit mana yang mau membukukan puisi kacangan seperti itu..). Saya bilang, saya tidak punya nyali untuk mengirimkan puisi-puisi saya ke media massa, apa nanti kata Rendra, Joko Pinurbo, Sapardi dan penyair-penyair lainnya ?, lagian koran mana sih yang mau nampangin puisi saya itu ?

Akhirnya, setelah lama "bersemedi", saya memberanikan diri untuk mengirimkan 2 buah puisi saya ke Palangkaraya Post, dengan judul "Gerimis Diujung Senja" dan "Kuingin Bercerita" (dua-duanya bertemakan patah hati). Namun yang dimuat hanya satu (alhamdulillah, masih ada yang bersedia memuat), yaitu "Kuingin Bercerita". Namun, puisi saya itu dimuat bersamaan dengan puisinya, kalo tidak salah, Hasan Aspahani yang memang karya-karyanya sudah bertebaran di berbagai media massa di tanah air. Jadi ibaratnya, puisi saya itu sebagai "band pembuka" dari konsernya Hasan Aspahani (bagi saya, ini suatu kebanggaan tersendiri).

Baiklah, puisi tersebut coba saya tampilkan disini, dan nanti saya akan ceritakan sedikit tentang "asbabub nuzul-nya" atau bagaimana proses lahirnya puisi itu :

Ku Ingin Bercerita

Semburat sinar bulan sepenggal
yang jatuh di taman sakura
tak mampu mengusir resah
yang sedari tadi hilir mudik
di relung hatiku

Ingin kuterbang kerumahmu
tuk sekedar bercerita
tentang kota yang tak pernah mati
tentang langkah kaki cepat diantara gedung bertingkat
tentang bunga sakura yang tengah mekar
atau tentang angin musim semi yang dingin
hingga menusuk tulangku

Masih sudikah kau mendengar ceritaku, manis
(padahal dulu kau sering memintaku bercerita,
sebelum kau menarik selimut mimpi)

Jika kau enggan, tak apa
kan kutulis ceritaku di helai bunga sakura
yang gugur diterbangkan angin malam
agar jika nanti kau ada waktu
kau bisa membacanya

Atau jika kau masih enggan juga
setidaknya kumohon
simpanlah disudut kamarmu
sebagai pengingat bahwa kita pernah saling merindu


Tokyo, 1 April 2007


Puisi tersebut saya tulis di Tokyo, tanggal 1 April 2007. Pada waktu itu, saya mendapat kesempatan dari perusahaan tempat saya bekerja untuk training transmisi di jepang. Saat itu di jepang sedang musim semi, sehingga saya bisa melihat bunga sakura yang sedang mekar (indah banget coy...). Sebagai "wong ndeso" yang baru pertama kali ke jepang, tentu saya terkagum-kagum dengan semua keadaan di jepang, khusunya bunga sakura itu.

Namun, dibalik kekaguman dan rasa senang saya itu, diam-diam di relung hati saya, tersimpan semacam "kegelisahan", "kesepian", "kesedihan" atau apapun itu namanya (mungkin pada waktu itu saya lagi melankolik aja kali yaa...). "Kesedihan" itu bermula ketika saya melihat sepenggal bulan saat saya berada di taman sakura. Gile.. indah banget, udah bunga sakuranya indah, ditambah lagi dengan sinar bulannya. Pokoknya, dimata saya terlihat romantis sekali. Nah, justru disinilah letak "kesedihannya", tiba-tiba saya teringat akan seorang gadis yang pernah singgah di hati saya (hmmm... siapakah itu..???). Andaikan dia masih disamping saya, tentu saya punya seseorang untuk berbagi cerita tentang indahnya bunga sakura, tentang kekaguman saya terhadap jepang dan lain sebagainya. Itulah yang membuat saya "nelangsa" pada waktu itu, padahal dulu, kami selalu berbagi cerita tentang apa saja, bahkan menjelang tidur pun sempet-sempetnya telpon, just to say good nite. Tapi sekarang (baca : pada waktu itu), dia sudah bukan milikku lagi, sehingga saya tidak bisa lagi bercerita padanya. Itulah yang melatarbelakangi saya menulis puisi tersebut :)

Well... itu cerita lalu, sekarang lain lagi men... he.. he.., anyway... yang jelas sekarang saya sudah mulai punya sedikit nyali untuk mengirimkan puisi-puisi saya ke media massa, untuk langkah awal saya coba dulu koran-koran lokal di kalimantan ini. Jujur saja, setelah puisi saya itu dimuat, saya semakin pede untuk ngirim lagi puisi-puisi saya ke Palangkaraya Post (semoga mereka tidak kapok), juga kini saya coba untuk menembus Kalteng Post dan Banjarmasin Post (moga-moga aja mereka cukup nekat untuk memuat puisi saya.. he.. he..).

Kita lihat saja bro.... :)

Rabu, Maret 12, 2008

Males Nulis ???, Mulailah Menulis !!!

Ada banyak orang yang punya ide atau pemikiran yang bagus, namun memiliki kesulitan untuk mengungkapkannya secara lisan. Dari sekian yang bisa mengungkapkannya secara lisan, tak sedikit yang kesulitan untuk menuliskannya secara runut dan baik. Makanya, banyak orang yang jago ngomong, tapi tidak jago nulis. Saya juga gak ngerti, kenapa nulis itu jauh lebih rumit dibanding ngomong ?, dan ini saya alami sendiri.

Seperti sekarang ini, sebetulnya ada banyak hal yang ingin saya sharing-kan dalam bentuk tulisan. Makanya, saya sampai nyempet-nyempeti bikin blog (malah sampe punya dua), cuma masalahnya, ya itu tadi, pas mau nulis, suka bingung mau mulai dari mana. Ini yang jadi penghambat pertama dalam menulis : "harus mulai dari mana yaa...???", yang akhirnya bikin kita males nulis.

Contohnya ya blog saya ini, setelah nulis terakhir 28 september tahun lalu, saya vakum hingga hampir 5 bulan. Untungnya di blog saya yang lain ( http://boekie.blogs.friendster.com/ ), saya masih sedikit lebih produktif. Seperti yang saya katakan diatas, sebetulnya ada banyak hal yang ingin saya ceritakan di blog ini, tapi saya sedang dijangkiti virus males nulis (males mikirnya musti mulai dari mana). Nah, untuk mendobrak itu semua, maka saya coba nulis ini. Nulis bahwa saya lagi males nulis. Intinya adalah, tulislah dulu hal-hal yang ringan, yang gak harus banyak mikir dulu, pokoknya apa yang ada dalam pikiran coba tuangkan dalam tulisan, ya seperti saya ini. Mungkin kalau suatu saat nanti saya baca lagi tulisan ini, saya akan bingung sendiri, "ini tulisan apa ???, koq, gak jelas begini...????". Tapi gak apa-apa, setidaknya saya sudah bisa mendobrak rasa males saya. Siapa tau, walaupun awalnya gak jelas, tapi jika terus dipaksa dan dilatih (bagaimana kita bisa berlatih, kalo gak pernah mau mulai menulis ???), tentunya semakin terbiasa dan akhirnya tulisan-tulisan kita semakin bagus.

jadi...., Males Nulis ???, mulailah menulis !!!