Ada suatu pengalaman yang menggelitik hati saya, ketika beberapa waktu yang lalu, saya dan sepupu-sepupu saya "jalan-jalan" ke gunung papandayan di garut. Sebelum naik gunung, kami diingatkan oleh penjaga gunung (kuncen) disana untuk tidak “nyarios sompral” (berkata sombong atau ngomong sembarangan), yang kemudian dijawab oleh salah seorang sepupu saya dengan mengucapkan kata “Insya Allah”. Nah, yang menggelitik hati saya adalah respon dari si kuncen tersebut yang mengatakan ; "entong Insya Allah, kedah ieu mah" (jangan bilang Insya Allah, tapi harus ini mah).
Sebetulnya apa makna dari kata “Insya Allah” sehingga membuat si kuncen papandayan merasa tidak percaya dengan komitmen kami ?. Memang harus kita akui bahwa kata “Insya Allah” sudah menjadi kata-kata harian kita, sehingga sudah sangat sering kita mendengar bahkan hampir secara otomatis kata tersebut mengalir begitu saja dari mulut kita tanpa memahami maknanya. Selama ini timbul kesan bahwa ketika mendengar seseorang mengucapkan kata “Insya Allah”, maka kita langsung apriori bahwa orang tersebut tidak mempunyai komitmen yang kuat bahkan mungkin terkesan hanya memberikan “janji-janji manis” tanpa ada tekad yang sungguh-sungguh untuk menepatinya. Disisi lain, bagi si pengucapnya, kata “Insya Allah” terkesan sebagai bentuk janji yang sangat longgar, sehingga dia merasa tidak mempunyai konsekuensi apa-apa ketika mengucapkannya. Mungkin kita juga sering “menjanjikan” sesuatu kepada orang lain, misalnya untuk datang kerumahnya, dengan mengucapkan kata “Insya Allah”, padahal sebetulnya kita tahu bahwa kita enggan untuk datang, atau bahkan tidak ada rencana sama sekali. Kita mengucapkan kata “Insya Allah” hanya untuk menyenangkan lawan bicara kita saja. Lantas, apakah demikian makna “Insya Allah” ?.
Mengucapkan kata “Insya Allah” sebelum kita menjanjikan atau melakukan sesuatu sebetulnya perintah Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an, surat Al Kahfi (18) ayat 23-24, yang artinya : “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu esok pagi’. Kecuali (dengan menyebut) ’Insya Allah’. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini’'. Jadi dalam Islam, kita tidak boleh menjanjikan atau memastikan sesuatu akan terjadi sesuai dengan kehendak kita. Jika itu terjadi, maka hal tersebut mencerminkan kesombongan bahwa kita pasti bisa melakukannya sesuai dengan apa yang kita kehendaki, serta tidak ada kekuatan diluar diri kita yang dapat mempengaruhinya. Sebetulnya ada sebuah ungkapan dalam bahasa inggris yang berbunyi “Man proposes, God disposes” (Manusia merencanakan, Tuhan menentukan). Dalam ungkapan tersebut jelas sekali terkandung makna bahwa hanya Tuhan saja yang berhak untuk memastikan sesuatu.
Kalau kita cermati, ayat diatas adalah perintah untuk mengucapkan kata “Insya Allah” sebelum kita menjanjikan atau melakukan sesuatu, tetapi sebelumnya kita sudah berkomitmen dengan kuat bahwa kita akan sekuat tenaga menepati janji kita itu, adapun bagaimana nanti hasilnya terserah Allah. Hal ini tercermin dari arti kata “Insya Allah” itu sendiri yang kurang lebih “jika Allah mengizinkan atau menghendaki”. Jika Allah tidak menghendaki, kita bisa apa ?, walaupun perencanaan kita sudah sangat matang. Andai bergabung seluruh jin dan manusia untuk melakukan sesuatu, jika Allah tidak mengizinkan maka tidak akan pernah terjadi. Dalam mengucapkan kata “Insya Allah” juga bukan berarti bahwa kita menjadi bersikap fatalis (diam, tidak melakukan apa-apa), karena kita sudah merasa telah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Dalam tataran filosofis dan kesadaran diri, “iya” kita memang harus berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tetapi dalam tataran praktis kita harus berikhtiar sekuat tenaga kita. Bukankan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum tersebut tidak mengubahnya sendiri (QS. 13: 11), karena memang di dunia ini berlaku yang namanya sunatullah. Jadi sebetulnya tidak ada hubungannya antara mengucapkan kata “Insya Allah” dengan komitmen kita yang longgar apalagi sampai bersikap fatalis.
Ketika mengucapkan kata “Insya Allah” seharusnya timbul kesadaran pada diri kita bahwa kita ini lemah dan tidak bisa memastikan sesuatu dengan pasti, oleh karena itu kita bergantung sepenuhnya (bertawakal) kepada Allah, tentu setelah kita berusaha sekuat tenaga kita, dan memohon bantuan Allah. Bahkan menurut Cak Nur, dalam buku “Pintu – Pintu Menuju Tuhan”, disebutkan bahwa dalam ucapan “Insya Allah” tersimpul kesadaran kosmis, yaitu kesadaran bahwa kita hidup tidak sendirian, melainkan hidup dalam jalinan dan hubungan saling mengkait dengan seluruh ciptaan Allah yang lain, sesuai dengan sunnah, taqdir dan iradah Allah. Inilah salah satu sikap orang yang rendah hati, karena ia mampu menyadari kelemahannya. Semoga mulai saat ini kita tidak salah lagi dalam memahami makna “Insya Allah”, apalagi dengan sengaja mempermainkannya. Wallahu a’lam bishawab.